Wanita Tuna Susila-Defenisi
WTS adalah salah satu bentuk prilaku yang menyimpang dimasyarakat yaitu prilaku yang tidak berhasil menyesuaikan diri dengan kehendak-kehendak masyarakat atau kelompok tertentu dalam masyarakat. Penyimpangan adalah perbuatan yang mengabaikan norma, dan penyimpangan ini terjadi jika seseorang tidak mematuhi patokan baku dalam masyarakat.
Seorang kepala dinas tenaga kerja mengkritisi sebutan pekerja seks komersial (PSK) bagi para pelacur. Ini diungkapkan Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kab. Sukabumi Drs. H. Karmas Supermas, M.M.
Karmas merasa keberatan dengan istilah pekerja seks komersial karena mengandung sebuah konsekuensi yang berat dilihat dari kacamata ketenagakerjaan. Pasalnya, di satu sisi wanita yang berprofesi sebagai pelacur disebut “pekerja”, tetapi di sisi lain “pekerja” itu tidak pernah mendapat perlindungan, bahkan diobrak-abrik.
Menurut Karmas, selama ini persoalan PSK belum dipandang secara komprehensif, menyeluruh, dan sistematik, terutama dalam penanganannya. Bahkan, sangat ironis dan dilematis, terutama antara persoalan yang ada dengan sistem penanganannya. “Kalau kita cermati istilah PSK, di satu sisi disebut sebagai pekerja. Tetapi, di sisi lain dilarang melakukan pekerjaan tersebut,” jelas Karmas.
Lebih jauh Karmas mengajak untuk bersama-sama mencermati keterkaitan antara PSK, ketenagakerjaan, gender, moralitas bangsa, dan hak asasi manusia dari sudut ketenagakerjaan, sesuai dengan UU No.13 Tahun 2003. Pengertian pekerja atau buruh, jelas Karmas, yaitu setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Namun, bukan untuk orang-orang yang berprofesi sebagai pelacur atau wanita tuna susila. Kata “pekerja” sudah bisa dipastikan ada hubungannya dengan lapangan pekerjaan serta orang atau badan hukum yang mempekerjakan dengan standar upah yang dibayarkan. Kemudian, lapangan pekerjaan yang diperbolehkan harus memenuhi syarat-syarat kerja secara normatif yang diatur oleh peraturan perundang-undangan, termasuk sistem pengupahan dan keselamatan kesehatan kerja.
Selanjutnya, jenis pekerjaan tidak boleh bertentangan dengan moralitas bangsa atau agama yang diakui pemerintah. “Seks, tidak termasuk kelompok suatu jenis jabatan maupun pekerjaan. Jadi, tidak tepat kalau istilah pekerja seks komersial itu ditujukan bagi para wanita tuna susila atau pelacur. Istilah PSK sepertinya merupakan sebuah pemolesan bahasa yang dapat berakibat kepada pembenaran terhadap perbuatan amoral tersebut,” kata Karmas.
Oleh karena itu, Karmas mengusulkan kepada pemerintah atau siapa pun orang yang pertama kali mengganti istilah WTS dengan PSK agar tidak menggunakan lagi istilah PSK karena tidak menutup kemungkinan akan menjadi preseden buruk di kalangan pekerja “asli” atau buruh yang ada di Indonesia, bahkan tidak menutup kemungkinan merusak citra pekerja pada umumnya.
“Istilah yang kami tawarkan adalah istilah yang setara dengan yang diberikan kepada laki-laki hidung belang, kupu-kupu malam, wanita tuna susila atau pelacur. Jangan diberikan istilah yang berkonotasi penghalusan bahasa yang berakibat pada pembenaran terhadap perilaku amoral. Tetapi, kalaupun harus menggunakan istilah PSK,
Penyebab
Banyak hal menyebabkan seorang perempuan bekerja menjadi PSK. Diantaranya adalah:
- akibat kegagalan dalam perkawinan dan
- karena tekanan ekonomi.
Meskipun bekerja sebagai PSK dianggap melanggar norma dan moralitas, namun sebagai individu mereka tidak dapat terlepas dari lingkungan sosialnya. Untuk itu diperlukan adanya proses penyesuaian diri. dalam interaksinya mereka berusaha menutupi pekerjaan sebagai PSK, terutama di lingkungan keluarga dan tempat tinggal, untuk menghindari keterasingan dari lingkungan tersebut. Penyesuaian diri yang dilakukan bersifat pasif, mereka menyesuaikan diri dengan bersikap dan bertingkah laku layaknya individu lain di lingkungan tersebut. Ditinjau dari teori Haber dan Runyon, penyesuaian diri yang mereka lakukan tidak memenuhi keseluruhan karakteristik penyesuaian diri yang sehat.
Epidemiologi Sebanyak 129 ribu perempuan Indonesia, menurut data Departemen Kesehatan, merupakan pekerja seks di bawah 18 tahun. Sementara data Badan Pusat Statistik menyebutkan, 34,2 persen perempuan Indonesia kawin muda di bawah 18tahun. Berdasarkan kenyataan itu, Deputi Kesejahteraan dan Perlindungan Anak Kementerian Urusan Peranan Wanita T.B. Rachmat Sentika menyimpulkan, kawin muda yang banyak terjadi di Jawa Barat dan Jawa Timur merupakan pemicu meningkatnya perdagangan perempuan dan anak.
Kekerasan terhadap perempuan betul-betul dianggap mainan dan dijadikan jualan oleh media massa di Indonesia, baik berupa pencitraan dalam iklan maupun berbentuk pemberitaan. Sayangnya, itu dilakukan bukan cuma oleh koran-koran kuning yang dagangan utamanya bisnis esek-esek, melainkan juga oleh media nasional yang kelas pembacanya menengah ke atas (Armando, 2003)
Kekerasan terhadap perempuan betul-betul dianggap mainan dan dijadikan jualan oleh media massa di Indonesia, baik berupa pencitraan dalam iklan maupun berbentuk pemberitaan. Sayangnya, itu dilakukan bukan cuma oleh koran-koran kuning yang dagangan utamanya bisnis esek-esek, melainkan juga oleh media nasional yang kelas pembacanya menengah ke atas (Armando, 2003)
Pencitraan negatif terhadap perempuan itu tampak dalam pemberitaan tentang artis, perkosaan, dan pemberitaan lainnya yang berkaitan dengan perempuan. Meskipun demikian, Ade tidak percaya terhadap teori yang menyebutkan bahwa media berdampak langsung dalam menyebabkan terjadinya kasus-kasus perkosaan. Menurut Ade, pengaruh media berjalan sangat lambat dan perlahan. Sehingga pencitraan intens yang salah tentang wanita, baru akan terasa pengaruhnya dalam jangka panjang.
Sementara itu, Maria menyatakan munculnya pemberitaan yang tidak berpihak pada korban, misalnya dalam kasus perkosaan kerap terjadi karena redakturnya juga tidak tahu atau beralasan faktanya memang demikian. Kekeliruan misalnya, tampak dalam pemilihan diksi seperti pelacur, pekerja seks komersial, dan lainnya.
“Padahal kata ‘pelacur’ sendiri kontroversial. Sebagian feminis menganggap kata itu menyudutkan perempuan bahkan menguatkan stigma yang selama ini diberikan masyarakat untuk perempuan yang terlibat dalam bisnis seks komersial. Padahal bisnis tersebut selalu melibatkan dua pihak, perempuan dan laki-laki. Malahan tak sedikit laki-laki yang terlibat sebagai penjual jasa seks. Sama kontroversialnya dengan kata ‘pekerja’ seks. Kata ‘pekerja’ membingungkan karena bisa berarti jenis kerja yang bisa dicita-citakan. Padahal tidak seorang anak pun yang punya cita-cita menjadi pekerja seks.
No comments:
Post a Comment