Sunday, May 29, 2011

Keindahan Gunung Tambora di Pagi Hari


Keindahan Gunung Tambora di Pagi Hari-Perjalanan menuju Gunung Tambora, belum menjadi perbincangan hingga kami akan menyeberang ke Pulau Sumbawa. Mendapat berita dari seorang teman, mereka sedang mengadakan ekspedisi menggunakan 2 mobil ke Gunung Tambora. Entah karena penasaran atau memang iseng saja, kedua laki-laki yang menyetir di mobil saya pun tergelitik ingin menyusul rombongan tersebut, sekaligus melihat medan di rute menuju Gunung Tambora. Ternyata mereka berdua belum pernah ke Gunung Tambora. Dan sebagai dua offroader yang memang suka bertualang, ajakan menjajal rute baru ini nampaknya tidak mungkin untuk di tolak.

Puluhan tahun berlalu, belum dapat menghapus kedahsyatan letusan Tambora di tahun 1815. Batu-batu berserakan ukuran besar hingga kecil, terlihat di sepanjang padang rumput perjalanan kami menuju Tambora. Terbangun karena goncangan mobil yang cukup kuat akibat jalan yang mulai bergelombang, menandakan kami sudah cukup jauh berjalan dari kota terakhir, sebelum belokan menuju jalur utara ke Gunung Tambora.
Semakin lama semakin sedikit rumah yang kami lewati, hingga akhirnya hanya pemandangan laut di kiri dan hamparan sabana di kanan jalan. Seperti sudah menjadi ciri khas Pulau Sumbawa sendiri, rombongan kuda kerap terlihat, dan bebas berlarian di padang rumput. Sesekali juga, ada gerombolan kerbau dengan seekor anak kerbau albinonya melintas jalan, menuju kubangan lumpur dibawah pepohonan rimbun dekat pantai.

Perjalanan lintas padang rumput
Begitu sampai di Pos 1, mobil harus berbelok dari jalan utama melintasi padang rumput. Sambil terus mencoba menghubungi rombongan teman ayah saya yang sudah lebih dulu berangkat, kami memulai perjalanan off road pertama kami di Sumbawa. Untuk membandingkan buruknya jalan aspal yang sebelumnya kami lewati, saya merasa jauh lebih nyaman ketika mobil berjalan di padang rumput ini. Meskipun nampak banyak batuan berserakan di padang rumput, tetapi perjalanan lebih halus dan tidak bergejolak seperti ketika di jalan utama.

Beberapa kali ada satu dua ekor burung terbang melintasi depan mobil kami. Padahal saya mengharapkan ada sekelompok kuda yang sedang merumput selama lintasan kami di padang rumput itu. Semakin naik ke ketinggian, vegetasi pun semakin berubah. Yang tadinya hanya hamparan rumput setinggi mata kaki, berubah menjadi ilalang setinggi pinggang. Tetapi medan yang kami tempuh, belum terlalu berarti, hingga kami menemukan satu titik dimana jalan yang harus kami lewati sangat sempit, dan di kiri kami adalah jurang sedangkan di kanan mobil adalah lubang yang cukup dalam akibat tanah longsor.
Apabila kami terjebak di lubang itu, sebetulnya bisa saja keluar, mengingat kendaraan kami yang 4×4. Tetapi, dibutuhkan bantuan dari mobil lain untuk menarik, dan notabene-nya tidak ada karena kami hanya satu mobil saat itu. Untungnya, tidak perlu meragukan lagi kemampuan ayah saya dan temannya dalam ber-off road ria, kami melewati medan itu dengan mudah. Perjalanan makin menanjak dan sedikit berkelok. Bukan lagi padang rumput yang datar seperti beberapa menit sebelumnya. Sesekali melewati rimbunan semak belukar setinggi mobil dan belokan yang tajam, serta jalan tanah yang nampaknya pasti sulit dilewati kalau hujan turun, akhirnya kami tiba di pos 2 Gunung Tambora tepat pukul 3 sore.

Melihat tanda yang menuliskan, pos 3 Gunung Tambora hanya 15 km lagi, sempat membuat ayah saya dan temannya tergelitik untuk meneruskan perjalanan. Tetapi mengingat medan yang akan kami lewati pasti jauh lebih buruk dari sebelumnya, ditambah sudah mulai sore hari, mereka berubah pikiran dan memilih berkemah saja di Pos 2.
Meskipun saya kerap menggoda ayah saya yang hobi mendaki gunung untuk meneruskan perjalanan, tetapi beliau tetap memilih untuk tidak melanjutkan. Saat kami tiba di Pos 2, Puncak Gunung Tambora tidak terlihat karena tebalnya kabut. Tetapi pemandangan padang rumput hijau yang sebelumnya kita lewati, tiga buah bukit kecil di bawah, dan juga laut dengan pulau Moyo di seberang sumbawa, dapat terlihat dari atas mobil.
Berkemah diatap mobil
Sebetulnya ada satu tujuan mengapa saya terus mengikuti perjalanan darat ini. Yaitu ingin mencoba tenda diatas mobil yang baru dipasang ayah saya, khusus untuk perjalanan ini. Ya, betul. Tenda diatas atap mobil. Saya sangat penasaran bagaimana bentuknya sebuah tenda diatas mobil dan yang terpenting, apa tidak jatuh kalau tidur di atas atap? Dan akhirnya saya bisa jadi yang pertama kali mencoba tenda diatas mobil ini.
Perlengkapan masak dikeluarkan dari pintu belakang, ayah saya dengan temannya mulai membuka tenda tersebut. Dan seluruh perlengkapan untuk camping dadakan kami telah siap sebelum gelap datang. Setelah puas beberapa kali mengabadikan tenda legendary tersebut dengan latar matahari terbenam dan gunung tambora, kami bersiap untuk membuat makan malam.

Meskipun hanya makan malam seadanya, tapi terasa menyenangkan sambil ditemani serangga-serangga malam yang berkumpul karena nyala lampu, dan pemandangan dari kejauhan di bawah, lampu-lampu yang mungkin berasal dari kapal nelayan, atau pemukiman di bagian lain seberang pulau sumbawa. Sempat hujan sebentar, tetapi langit langsung kembali cerah dan layaknya berada di atas gunung yang gelap gulita, banyak bintang bertebaran diatas langit.
Meskipun malam belum terlalu larut, tetapi kedua pengemudi handal kami perlu tidur yang cukup untuk melanjutkan perjalanan esok hari. Udara yang semakin dingin, juga membuat kami ingin segera istirahat dan masuk tenda. Teman ayah saya memilih untuk tidur di dalam mobil, sedangkan saya dan ayah saya tidur diatas tenda. Matras yang ternyata menjadi alas kami, cukup empuk dan membuat tidur saya cukup pulas. Sempat terbangun sesekali akibat dinginnya udara, sleeping bag menjadi sangat berguna saat itu. Padahal sebelumnya saya pikir, tidak akan terlalu dingin di malam hari.

Tambora di pagi hari
Suara burung yang terdengar, serta aktivitas teman ayah saya diluar, menjadi tanda kalau pagi sudah menjelang. Benar saja ketika saya keluar dari tenda, matahari belum muncul dari balik gunung tetapi langit terlihat sangat cerah. Kali ini, puncak Gunung Tambora terlihat sangat jelas, dan juga pemandangan laut serta pulaunya di seberang dari kejauhan. Sambil menunggu air mendidih, sekali lagi kami mengambil foto-foto Gunung Tambora yang saat ini sudah tidak lagi tertutup kabut. Teh hangat serta roti bakar dengan kornet yang kami panggang diatas penggorengan, menjadi sarapan yang sangat lezat, ditambah suasana Gunung Tambora pagi hari. Sesekali juga terdengar suara ayam hutan dari kejauhan yang ikut menyambut kami.
Matahari sudah semakin tinggi, dan tanda-tanda rombongan teman ayah saya belum juga muncul. Sesuai dengan target yang telah dibuat, akhirnya kami memilih untuk memulai saja perjalanan pulang. Tenda di bereskan, begitu juga perlengkapan masak, dan yang lainnya. Akhirnya berakhir sudah petualangan kami menjajal Tambora.

Meskipun tidak sampai ke pos terakhir, saya pikir kedua pengemudi handal kami sudah cukup hebat berani hingga ke Pos 2, tanpa ada kendaraan lain yang mendampingi. Lain kali kami pasti akan kembali ke Gunung Tambora dan mencapai puncaknya. Tentunya dengan persiapan yang lebih matang, bukan hanya rencana dadakan satu malam sebelum.


Sumber: blog.indojunkers.com

No comments:

Post a Comment