Saturday, April 30, 2011

Sejarah Asal Mula Nasi Kucing


Sejarah Asal Mula Nasi Kucing-Makan adalah soal cara. Kita semua menyebutnya sebagai nasi. Namun ketika ia dimasukkan dalam bambu dan dibakar, kita menyebutnya nasi bakar. Bila ia dibungkus daun jati, Orang Cirebon menyebutnya nasi jamblang. Dibungkus selagi hangat dengan daun pisang muda lain lagi namanya: nasi timbel. Dibungkus sejumput-kecil di Bali disebut nasi jinggo. Di Tegal orang bilang nasi ponggol, di Kudus orang menyebut Nasi Gandul, di Pekalongan di sebut Nasi Megono. Lain lagi Wong Solo, Wong Jogja dan Wong Klaten, inilah yang populer sebagai Nasi Kucing atau sego kucing.
Nasi kucing bisa kita dibeli di sepanjang jalan di Solo dan Jogja. Di sudut-sudut gang, setiap ada keramaian tak pelak lagi, mereka pasti sedang lek-lekan, keplek ilat menyantap nasi kucing—hati-hati, karena sebagian lagi tak menyantap nasi kucing tapi Ciu Bekonang. Di Solo nasi kucing dijual di hik, sedang bila di Jogja dijajakan di gerobak Angkringan. Bentuknya sama: nasi sekepal dibungkus daun pisang dengan lauk sambal bandeng atau oseng tempe. Dijual dalam gerobak yang mangkal di tempat-tempat strategis. Selain gerobak penjual menyediakan satu kursi panjang di depannya.

Nasi Kucing (Sego Kucing)

Kita dapat makan secara swalayan. Di sudut kanan gerobak ada perapian, untuk menjerang tiga teko. Satu berisi air putih, satu berisi wedang jahe, satu lagi berisi teh kental—karena itu sebagian orang menyebut ‘Cafe Ceret Telu’. Di sebelah perapian dihamparkan macam-macam lauk dan jajanan: tempe dan tahu goreng, tempe dan tahu bacem, macam-macam sate semenjak sate usus, sate telur puyuh bacem, sate keong, sate kulit, sate (tempe) gembus, dan sate gajih sandung lamur.

Nasi Kucing

Masih ada jajanan: lentho, timus, combro—tanpa oncom, dan peyek. Kemudian paling kiri ditata nasi kucing bertumpuk rapi. Anda perlu sedikit jeli, karena ada sejumlah pedagang hik yang menyediakan didih—darah yang dibekukan dan digoreng. Tak perlu khawatir, di Solo toleransi ummat cukup tinggi—di samping pengonsumsi didih memang cukup banyak. Meski di jalan-jalan di jual rica-rica dan sate jamu—sate babi, tak pernah ada masalah. Anda cukup mengetahui mana yang boleh dimakan. Penjual tak memaksa dan tak bermaksud menjebak.

Tak perlu khawatir kursi bangku tak dapat memuat pengunjung. Karena pedagang nasi kucing telah menyediakan berlembar-lembar tikar di sebelah gerobak. Bila angkringan mangkal di mulut gang, maka anda dapat makan di pinggir jalan. Benar-benar di pinggir jalan, sehingga pejalan kaki hanya berjarak satu-dua meter dari nasi kucing yang sedang anda buka. Sebagian pembeli bahkan tak suka duduk di kursi angkringan. Mereka lebih suka duduk di tikar. Menghabiskan malam dengan bercengkerama dengan kawan-kawan. Makanya, makan nasi kucing kurang dari tiga peserta tak afdol. Bersama lima orang dianjurkan.

Lalu, mengapa nasi kucing, hik, dan angkringan? Ini ada ceritanya. Disebut nasi kucing karena porsi dan lauknya persis seperti kita akan memberi makan kucing di rumah. Lalu hik. Suku kata yang unik karena tak ada dalam kamus bahasa jawa, dan hebatnya lagi, tak ada artinya yang pasti. Sebagian mengartikan hik sebagai Hidangan Istimewa Kampung. Saya katakan pada anda: jangan percaya pada tesis ini. Makna hik paling kuat yang saya dapat bersumber dari sejarah panjang tradisi kuliner ini.

Idiom hik bersumber dari lagu rakyat yang dinyanyikan pada malem selikuran, tanggal 21 bulan puasa pada zaman Susuhunan Paku Buwono X: ting-ting hik, jadah, jenang, wajik, ojo lali tinge kobong (lampu-lampu minyak hik, jadah, jenang, wajik (nama-nama jajanan pasar—mpep), jangan lupa lampunya terbakar—mpep). Lagu ini memiliki makna religius yang dalam, penuh perlambang.

Ting adalah lambang dari riwayat Kanjeng Nabi Muhammad SAW setelah turun dari Jabal Nur di malam Lailatul Qadar. Nabi disambut gembira oleh sahabat dengan menyalakan obor di mana-mana. Jadah, jenang, wajik merupakan jajanan pasar yang enak melambangkan kesuburan dan kemakmuran. Sedang ojo lali tinge kobong memiliki makna mengingatkan akan bahaya kebakaran. Hik sendiri tidak memiliki makna religius apa-apa. Ia menjadi identitas penjual warung angkringan yang semula menjajakan makanannya dengan berkeliling kampung mendorong gerobak memikul tenong (trims Mas Santo koreksinya–mpep) sambil berteriak hiiiikk…hiiikk….

Dalam perkembangannya pedagang hik tidak lagi menjajakan dagangannya tetapi menetap di suatu tempat-tempat yang biasanya strategis dan ramai. Penjual nasi kucing yang dianggap pionir dalam sejumlah literatur sebagai penjual nasi kucing yang mangkal adalah Pak Man. Pak Man biasa mangkal di dekat Stasiun Tugu Jogja. Hingga kini angkringan Pak Man—yang diganti anaknya Lik Man—masih ramai dikunjungi orang. Menu istimewanya kopi jos. Kopi kental manis yang diberi arang membara. Joss…

Menurut penelitian mahasiswa UGM yang terinspirasi karena menjadi pelanggan setia Lik Man, arang ternyata berfungsi menyerap kafein dari kopi. Sehingga kopi jos direkomendasikan baik untuk kesehatan. Meski demikian, seorang teman saya, seorang dokter sama sekali tak menyarankan untuk mencicipi kopi yang diberi arang. Soalnya arang kabarnya bersifat karsinogen. Sekarang, semua terserah anda.

Lalu di Jogja disebut angkringan karena demikian egaliternya warung rakyat ini pengunjung dapat meng-angkring-kan kakinya (mengangkat kakinya sambil duduk di kursi). Ukuran kesopanan di warung angkringan adalah tenggang rasa dan tepa selira dengan sesama pengunjung lainnya. Istilah angkringan lebih banyak digunakan di daerah Jogja. Sedang hik digunakan di daerah Solo meskipun bentuk, dan karakteristiknya sama persis.

Pada awalnya nasi kucing hanya dijual di wilayah Solo dan Jogja. Karena cukup bersahabat dengan kocek mahasiswa, nasi kucing merambah hingga ke Salatiga dan Semarang yang tak punya tradisi hik dan angkringan. Nasi kucing juga dapat anda temukan di Purwokerto. Nasi kucing memang makanan anak kos. Di masa-masa krismon saat Reformasi 1998, banyak mahasiswa yang disambung hidupnya dari dua pincuk nasi kucing. Namun nasi kucing tak identik mahasiswa.

Brosur Nasi Kucing
Kini nasi kucing telah menyebar di seantero Jawa Tengah. Semenjak Solo ke timur hingga Ngawi, dan Magetan. Dari Jogja ke barat melintasi Purworejo, Kebumen, Purbalingga, hingga Tegal.

 

No comments:

Post a Comment